Jumat, 03 Juli 2009

Jangan Jadi Orangtua “Beracun”!!



Mari evaluasi gaya pengasuhan anda kepada si kecil, sekaligus menelusuri dari mana gaya itu terbentuk!

Menjadi racun berarti membahayakan, membuat hidup seseorang terkontaminasi atau terkena pengaruh buruk. Sebutan racun ini ditujukan kepada para orangtua berperilaku buruk, sehingga menimbulkan kerusakan parah terhadap kondisi emisonal sang anak.
Akibat lebih jauh, rasa percaya diri anak menjadi amat rendah. Citra dirinya pun menjadi begitu buruk akibat terkontaminasi tadi. Jadi, yang dimaksud disini adalah para orangtua yang melakukan berbagai tindak kekerasan kepada anaknya baik secara verbal, fisik maupun seksual.
Demikian pula halnya para orangtua yang tidak mencukupi, bahkan mengabaikan kebutuhan emosi anaknya. Tak jarang pola pengasuhan yang dipenuhi tindak kekerasan ini akan begitu kuat tertanam, sehingga tanpa disadari terbawa terus sampai anak berusia dewasa.
Yang memprihatinkan lagi, ada begitu banyak orangtua dengan pola pengasuhan penuh racun ini secara konsisten meinggalkan warisan berupa rasa bersalah dan rasa malu pada diri anak-anaknya. Ironisnya, tak sedikit pula orangtua yang menganggap kekejaman adalah perbuatan yang sah dilakukan, terutama saat anak berbuat salah.
Lalu, darimana para orangtua “beracun” ini mempelajari perilaku tercelanya? Ya, anda benar! Mereka belajar dari orangtuanya sendiri, yang pada giliran sebelumnya juga belajar dari orangtua mereka pula.
Memang sih ada segelintir orang yang menghubungkan masalah emosional dalam dirinya dengan pola pengasuhan yang diterima dari orangtuanya dulu. Namun yang lebih sering terjadi masalah-masalah emosional ini baru akan muncul begitu mereka memainkan peran sebagai orangtua.
Semua Pernah Berbuat Salah
Sesungguhnya para orangtua juga menyadari, membangun sebuah keluarga merupakan moment yang paling membuatnya stress. Seringkali bagian tersulit dari peran sebagai orangtua adalah mengakui perilakunya yang patut dipertanyakan tadi merupakan pengaruh buruk dari orangtuanya semasa lalu.
Lantas, mengapa sulit? Tak lain karena dulu mereka dikondisikan begitu tertekannya, sehingga tak pernah berani melontarkan kritik atau menilai kesalahan yang ada dalam diri orangtuanya. Kadang kala tak hanya apa yang mereka lakukan yang menjadi ancaman bagi perkembangan anak. Bahkan apa yang tak mereka lakukan pun bisa membahayakan kehidupan anak.
Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu. Anak baru bisa mengakui, orangtua dulu telah menyakiti jiwanya bila menggunakan ”kaki lilin” alias berdiri pada posisi yang lebih tinggi dari posisi anak selama ini.
Tindak kekerasan secara verbal dari orangtua terhadap anaknya juga digolongkan dalam pengasuhan beracun yang amat sangat membahayakan. Meski tindak kekerasan ini acapkali dinilai tak memiliki bukti signifikan.
Tak mengherankan bila tindak kekerasan secara verbal kerap dianggap lumrah sebagai perilaku keluarga. Padahal berkas goresannya begitu menoreh tajam pada kondisi kejiwaan anak. Tak terlihat, namun amat berpotensi menghancurkan jiwanya.
Suka Menyalahkan Diri
Kabar buruknya, anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua dengan pola pengasuhan beracun justru terbiasa menyalahkan dirinya sendiri atas kekejaman yang dilakukan orangtuanya. Mereka cenderung tumbuh menjadi sosok orang dewasa yang dibebani citra diri amat rendah dan gambaran diri serba buruk. Sedangkan kabar baiknya, masa lampau memang tak bisa diubah atau diperbaiki lagi. Namun, tak demikian halnya dengan masa depan.
Tak sedikit orangtua hebat yang berani memutuskan mata rantai atas hal ekstrim yang dialaminya semasa kecil. Meski mengalami hal yang tak sepatutnya diterima, para orangtua luar biasa ini mampu tampil sebagai model peran yang mengagumkan bagi anak-anaknya.
Ada seorang ibu muda yang keberhasilannya dalam hal ini sungguh patut diacungi jempol. Menurutnya setiap keputusan yang dibuat mengenai pengasuhan anak justru menuntutnya mengambil posisi berlawanan dengan posisi ketika ia dulu dibesarkan. Tentu saja bukan hal yang mudah, sehingga ketangguhan memang sangat dituntut. Dengan berjalannya waktu, perubahan persepsinya membuahkan hasil manis. Gaya pengasuhannya berkembang alias tidak diam di tempat seperti yang dilakukan orangtuanya dulu. Anak-anaknya tumbuh menjadi individu yang mengagumkan. Poin terbesarnya adalah keberanian untuk mengakui ada yang salah dalam pola pengasuhan yang amat menyakitkan di masa kecil. Sekaligus keberanian untuk memutuskan tak akan mengulangi kesalahan yang sama, yakni menerapkan pola pengasuhan orangtuanya dulu.

(NOVA 1110/XXII 1-7 Juni 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar