Selasa, 30 Juni 2009

Seberapa Kenalkah Kita Terhadap Anak??


Setiap tahun ajaran baru, kutemui anak-anak yang baru dan masalah yang kuhadapi pun selalu baru dan berbeda tiap tahunnya. Dulu pernah kumiliki seorang murid yang cukup unik dan membuatku kehabisan akal untuk menghadapinya. Walau sudah beberapa tahun yang lalu, tapi aku masih ingat bagaimana rupa dan sifat anak itu, namanya Irfan.
Irfan adalah anak yang pendiam, sering bolos sekolah, tidak pernah mengerjakan PR, dan sifat-sifat buruk lainnya. Yang lebih parah, walau ditegur bagaimanapun dia akan diam seribu bahasa, tidak pernah membantah untuk membela diri atau mengiyakan apa yang dia lakukan. Bahkan orang tuanya pun angkat tangan dengan sifat anaknya. Dia dapat lulus ujian pun merupakan anugerah yang tak terhingga.
Sampai suatu hari aku bertemu kembali dengan orang tuanya Irfan, dan mereka berharap jika kelas tiga nanti mudah-mudahan sayalah yang menjadi wali kelas adiknya Irfan. Aku hanya tersenyum sambil berharap,” aduuuh jangan dong.” Ujarku dalam hati saat itu. Bukan aku memilih-milih anak,tapi rasanya cape juga kalau kita berhadapan dengan suatu masalah yang sama.
Rupanya, apa yang terjadi pada diri kita tak selamanya sesuai dengan apa yang kita harapkan. Suatu hari, di awal-awal masuk sekolah, aku kembali mengajar di kelas tiga. Aku masuk ke kelas yang kebetulan akulah wali kelasnya. Kuperhatikan seorang anak yang rasanya tak asing lagi dengan wajahnya. Saat itu tak banyak yang kupikirkan, tapi aku penasaran. Ku baca biodatanya, ternyata dia adalah adiknya Irfan, namanya Ikhsan. Sifat dan kelakuannya pun tak jauh beda dengan kakaknya. (Saat ini yang bisa kulakukan adalah berdoa dan berharap semoga tahun ini tak ada kendala apa pun, anak-anak lulus dengan nilai yang baik ).
Beda lagi dengan tahun kemarin kumiliki seorang murid yang tak kalah uniknya. Namanya Santoso. Kebetulan dia agak lambat dalam belajar di banding dengan teman-temannya yang lain. Kembali rasa cemas menghantuiku, takut kalau anak tersebut tidak lulus. Apalagi dia selalu menjadi olok-olok teman-temannya, walau berulangkali kuingatkan anak-anak agar jangan saling olok-olok. Tapi namanya juga anak-anak. Teman-temannya memanggil dia dengan sebutan Pentium dua ( karena kelambanannya).
Tapi yang namanya nasib dan rezeki manusia, sudah ada yang mengatur. Dia lulus dengan nilai yang cukup baik. Lucunya saat pembagian kelulusan orang tuanya sudah yakin kalau anaknya pasti tidak lulus. Kalau orang tua murid yang lain bertanya,” apakah anaknya lulus atau tidak?” Tapi orang tuanya Santoso pertanyaannya lain. “Kapan ujian susulan dilaksanakan, “ ujarnya sambil menyiapkan catatan kecil untuk menuliskan jadwal ujian susulan.
Kali ini ada dua orang muridku yang kalau bolos selalu bersamaan, mereka begitu kompak, baik dalam belajar maupun bolos sekolah. Beberapa kali kupanggil orang tuanya untuk menginformasikan sekaligus konfirmasi kalau anak-anaknya sering bolos. Tapi beberapa kali kupanggil orang tuanya tak kunjung datang. Hingga suatu hari orang tuanya nelpon dan menanyakan keadaan anaknya. Kami sepakat hari senin tanggal satu Desember, orang tuanya datang ke sekolah.
Aku konfirmasikan keadaan anak yang bernama Riwan, kalau dia sering bolos sekolah sambil kuperlihatkan absensi sebagai bukti kalau dia sering bolos sekolah. Rupanya anak tersebut dari rumah pergi sekolah, tapi tidak pernah sampai ke sekolah. Akhirnya aku dan guru BP dengan pendekatan sehalus mungkin, bertanya pada Riwan dan Asep ( Asep sahabat Riwan yang selalu kompak dalam hal bolos).
Jawabannya membuat kami terkejut, aku, guru BP dan orang tua Riwan. Dia tidak sekolah karena mencari uang dengan cara mencari plastik bekas, kardus bekas dan barang rongsokan lainnya untuk dijual. Kami sangat kaget dan spontan bertanya untuk apa uang hasil penjualan barang tersebut.
Sambil berlinangan air mata, meluncur cerita Riwan yang membuat dadaku sesak ketika mendengarnya. Suatu hari Riwan, Asep dan Hendra pergi ke sekolah dengan mengendarai sepeda. Hari itu hari Senin, mereka berboncengan naik sepeda, satu sepeda dipakai bertiga, mereka mengendarai sepeda dengan kencang karena takut kesiangan. Bisa dibayangkan, sepeda kecil yang cukup untuk satu orang, maksimal dua orang digunakan bertiga dan ngebut pula.
Mereka tidak sadar di depan mereka ada motor yang melaju tak kalah kencang. Sepeda mereka kehilangan keseimbangan dan hampir terjadi tabrakan. Beruntunglah pengendara motor begitu cekatan sehingga dia dapat menghindari tabrakan. Tapi sayang sekali motor tersebut masuk selokan dan mengakibatkan rusak walaUu tidak parah. Pengendara motor merasa kesal dan kebetulan juga si pengendara adalah anggota sebuah Gank yang sangat ditakuti anak-anak muda termasuk anak SMP.
Sepertinya hukum rimba mulai berlaku, yang kuat dialah yang berkuasa dan dapat melakukan apa pun sesuka hatinya. Si pengendara motor dengan sesuka hatinya meminta ganti rugi dan mengancam jangan bilang siapa-siapa, kalau berani melapor rasakan akibatnya. Si Pengendara motor meminta ganti rugi sebesar Rp 300.000.00 .
Mungkin bagi sebagian orang apalah artinya uang Rp 300.000.00 tapi bagi anak-anak, betapa besarnya uang tersebut. Apalagi bagi anak yang hanya diberi uang jajan sebesar Rp. 1000.00 . Tiap pagi di sebrang sekolah ketiga anak tersebut selalu ditunggu oleh si pengendara motor sambil mengancam dengan benda tajam, kapan mau membayar ganti rugi.
Uang Rp. 300.000.00 di bagi tiga, masing-masing anak harus membayar Rp. 100.000.00. Bagi Asep yang uang jajannya Rp. 5.000.00/ hari mungkin tidak menjadi masalah, cukup dengan memecahkan celengan yang dia kumpulkan berbulan-bulan.
Orang tua Riwan terhenyak sambil berujar.
“Kenapa kamu nggak bilang sama mamak?”
“Saya kasihan sama mamak,” ujar Riwan terbata-bata.
Kebetulan orang tua Riwan hanyalah pedagang kecil di sebuah pasar kaget di daerah kami.
Semua itu menjadi jawaban bagi kami dan sekaligus pelajaran berharga bagi kami, terutama untuk diriku pribadi. Setiap manusia di muka bumi ini, sekecil apa pun yang mereka lakukan pasti memiliki alasan. Aku merasa sedih dengan kenyataan ini, sekaligus menimbulkan tanya besar. Kenapa dalam situasi sesulit itu seorang anak tidak mau berterus terang pada orang tuanya? Padahal orang tua adalah tempat bersandar anak-anaknya.
Dan kita pun patut untuk malu, ternyata selama ini kita tidak kenal anak-anak kita. Tentang keinginan-keinginannya, harapan dan apa yang mereka rasakan saat ini.

(Oleh: Nia's Mom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar