Selasa, 07 Juli 2009

Mengatasi anak berbohong



Anak usia 3-3,5 tahun, menurut Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, biasanya mulai pandai berbohong. "Di usia itu, ia cenderung sudah lancar bicara. Ia juga sudah paham akan pembicaraan orang lain," ungkap pakar psikologi anak ini. Anak pun sebetulnya sudah bisa membedakan, mana yang benar dan salah. Buktinya, ia sudah mulai pandai berbohong.

Kebohongan yang dilakukan anak, kerap dilakukannya demi melindungi diri sendiri. Si kecil sudah bisa berpikir, "Daripada dimarain Bunda, lebih baik aku bohong." Jadilah, ketika si ibu menuduhnya mengambil kue, misalnya, dengan cepat dan lantang ia akan menjawab, "Enggak!" Apalagi, seperti dituturkan Fawzia, "Jawaban itu, kan, yang paling gampang?"

Bisa juga ia berbohong karena meniru. Entah dari orangtua atau lingkungannya. Mungkin ini pun pernah Anda alami sendiri, yaitu menyuruh anak mengatakan Anda tak ada di rumah ketika telepon berdering, sementara anak tahu persis Anda berada di rumah. Memang, itu termasuk kebohongan kecil (White lies). Tapi apa yang terjadi? "Lama-kelamaan, si kecil tahu dan bisa jadi ia menirunya."

DINIKMATI

Dua penyebab itulah, kata Fawzia, yang kerap menjadi pencetus utama timbulnya kebohongan pada anak. Yaitu melihat dan meniru. "Sebab, seorang anak belum bisa merancang kebohongan. Tidak ada istilah, anak kecil punya bakat bohong. Beda dengan orang dewasa yang sudah bisa merancang kebohongan. Kalau pada anak kecil, lebih banyak demi pertahanan diri." Kendati demikian, sangat tak bijaksana jika orangtua terburu-buru memvonis si kecil sebagai pembohong, setiap ia mengemukakan hal yang tidak benar.

"Tiap anak pasti pernah melakukan hal ini. Yang perlu kita perhatikan adalah frekuensinya. Kalau sedikit-sedikit berbohong, orangtua tentu perlu bertindak. Jangan sampai keterusan hingga ia besar. Nanti susah menghentikannya," papar Fawzia. Bukan itu saja. "Sosialisasinya bersama teman-temannya pun akan susah nantinya. Dia tak bakalan dipercaya teman-temannya."

"Hobi" berbohong, harus dihentikan. Sebab jika dibiarkan saja, "Anak akan menikmati kebohongannya itu. Ia akan berpendapat, ternyata solusi dari sebuah permasalahan, gampang saja. Cukup dengan mengatakan yang tidak benar, ia pun selamat." Bahkan bisa terjadi, jika kebohongan sudah begitu tinggi tingkatnya, anak akan mencuri. "Ini sama dengan berbohong. Dalam pandangan psikologis, berbohong dan mencuri sama mekanismenya, yaitu suatu perbuatan yang tidak baik, yang melanggar norma lingkungan."

Anak yang gemar berbohong umumnya berasal dari keluarga yang kurang memiliki disiplin. Juga jika anggota keluarga kerap melakukan kebohongan. Misalnya saja, si anak dijanjikan akan diberi permen jika ia mau tidur siang. "Tapi setelah bangun, ibunya tak memenuhi janji. Bahkan bilang, tak pernah berjanji seperti itu. Nah, peristiwa itu akan terekam dalam benak anak sehingga ia akhirnya berkesimpulan, berbohong atau tak memenuhi janji, tidak apa-apa."

Lingkungan, semisal teman, bisa pula memberi andil dalam membentuk kecenderungan anak berbohong. "Bilang aja kamu mau belajar bersama di rumahku, padahal nanti kita main play station" kata si teman. Anak Anda pun, karena khawatir tak mendapat izin keluar rumah, akhirnya menuruti anjuran temannya tadi untuk berbohong.

BERBOHONG VS IMAJINASI

Tentu saja, cara orangtua memandang suatu kebohongan yang dilakukan anaknya, berbeda satu sama lainnya. Terutama untuk kebohongan-kebohongan kecil. "Bergantung dari pemahaman akan arti kebohongan itu sendiri, di samping tergantung pada kebiasaan atau budaya setempat, serta insting atau pengalaman si orangtua," jelas Fawzia. Ia memberi contoh, ada orangtua yang menganggap, kebohongan kecil yang dilakukan anaknya, lumrah saja karena ia pun pernah melakukannya saat kecil dan tak berdampak buruk. "Jadi, si orangtua merasa tak perlu meributkannya."

Masing-masing orang pun, memiliki pemahaman akan arti yang baik dan tidak baik. Fawzia mencontohkan pemulung, yang mengambil barang yang digeletakkan di depan rumah kita. "Sebab ia berpendapat, toh, barang itu sudah dibuang dan tidak terpakai. Jadi, sah-sah saja dan tak berdosa jika diambil." Beda halnya dengan orang yang sangat strict dan berpedoman, barang itu, meski tergeletak, tetap saja bukan miliknya sehingga tak boleh diambil. Karena itulah, penanganan orangtua terhadap kebohongan anak, berbeda-beda pula. "Kalau menurut dia kebohongan itu masih bisa ditolerir, dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa. Tapi ada keluarga yang baru menemukan suatu kebohongan kecil, sudah heboh dan cemas."

Di sisi lain, pesan Fawzia, orangtua juga harus pandai-pandai membedakan, apakah si anak benar berbohong atau hanya sekadar berimajinasi. "Kadang, kan, anak kecil suka berimajinasi. Meski belum pernah ke kebun binatang, ia bisa cerita, di kebun binatang ada dinosaurus atau naga." Nah, jika ini yang terjadi, "Jangan buru-buru menuduhnya berbohong. Mungkin sebenarnya si kecil ingin mengutarakan keinginannya berkunjung ke kebun binatang." Kalau memang memungkinkan, ajaklah ia ke sana sambil sebelumnya jelaskan padanya tentang fakta mengenai kebun binatang. "Misalnya, di sana tak ada naga dan dinosaurus, melainkan gajah, beruang, dan seterusnya. Dengan demikian, anak jadi tahu fakta yang sebenarnya."

PERLU TIDAKNYA HUKUMAN

Bagaimana jika anak memang berbohong dan ia sering melakukannya? Tindakan yang paling tepat adalah memberi tahu dan menasehatinya. "Jelaskan padanya, berbohong lebih buruk dibanding jika ia mengakui kesalahannya. Karena itu, jika anak mengakui kesalahannya, jangan dimarahi. Katakan saja padanya, kita tak setuju dengan perbuatannya dan ia tak boleh mengulanginya di lain waktu," kata Fawzia. Sebab, lanjutnya, "Jika ia sudah mengakui kesalahannya dan tetap dimarahi, justru akan mendorongnya untuk berbohong agar tak kena marah."

Tanamkan pula pada anak, betapa kejujuran lebih berharga daripada kebohongan. "Cuma saja orangtua tetap harus waspada agar si anak tak merasa bahwa ia boleh-boleh saja melakukan perbuatan tak baik asalkan jujur mengakuinya. Anak harus tetap diberi tahu, apa yang boleh dan tidak dilakukannya."

Saat ingin "membongkar" kebohongan anak, tak perlu dilakukan secara gegabah. Fawzia mencontohkan cucunya yang mengaku telah menghabiskan makanannya. "Tante dan omnya langsung teriak, dia bohong." Fawzia pun bertanya pada si cucu, seberapa banyak ia makan sambil menerangkan, anak kecil harus makan banyak agar cepat tumbuh besar. "Jadi, saya tak menuduhnya berbohong. Karena itu, cucu saya akhirnya mengaku, makanannya belum habis sehingga saya minta untuk menghabiskannya. Anak kecil mengerti, kok, kalau kita beri tahu seperti itu."

Justru kalau ia diteriaki "Bohong!" saat tengah berbohong, anak akan lantas menyangkalnya dengan berkata, "Aku nggak bohong, kok!" untuk memperkuat kebohongannya. "Itu adalah bentuk pertahanan dirinya." Jadi, lanjut Fawzia, walaupun kita tahu ia berbohong, jangan langsung menekan si kecil. "Di sisi lain, jelaskan pula padanya bahwa perbuatannya itu tidak betul." Mengoreksi kebohongan, bisa juga dilakukan oleh lingkungan si anak.

Misalnya, pada temannya ia mengaku memiliki boneka baru. "Mana buktinya?" kata si teman. Jadilah ia harus membuktikan kebenaran ucapannya. Kalau tak bisa, ia pasti dikatakan pembohong oleh temannya. "Dari situ anak akan belajar, jika ia tak bisa membuktikan ucapannya, ia telah berbohong dan berbohong itu tak ada manfaatnya."

Soal hukuman pada anak yang berbohong, menurut Fawzia, perlu dilakukan jika kebohongan yang dilakukan anak sudah membahayakan, memalukan, atau merugikan orang lain. "Tentunya tak perlu berlebihan. Beri saja hukuman yang bersifat mengurangi kesenangannya. Misalnya, ia harus berdiri di pojok ruangan untuk jangka waktu tertentu, uang sakunya dikurangi, atau tidak boleh menonton teve selama seminggu. Dengan pemberian hukuman, anak jadi mengerti, itulah konsekuensi yang harus diterimanya jika ia berbohong."

Sumber: tabloid-nakita.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar